Selasa, 25 November 2014

Indonesia Merangkul IFRS

Tulisan berikut merupakan karya:
William Antonio Karnadi
NRP 3203013008


            Untuk menyusun sebuah laporan keuangan, bagian keuangan dan akuntansi dari sebuah perusahaan harus memperhatikan standar-standar akuntansi yang berlaku. Standar akuntansi yang baik mampu menghasilkan informasi yang andal dan relevan. Informasi yang disajikan harus dapat dipahami tidak hanya oleh pembuat laporan keuangan, namun juga pihak-pihak yang membutuhkan laporan keuangan tersebut, salah satunya adalah pemegang saham.
            Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah standar akuntansi yang berlaku di Indonesia. Standar ini berlaku sejak tahun 1994, menggantikan Prinsip Akuntansi Indonesia. Kini, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyusun standar akuntansi, memutuskan untuk mengadopsi standar akuntansi internasional, yakni International Financial Reporting Standards (IFRS), dan merombak ulang SAK. Perubahan ini sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2012, namun seperti semua perubahan besar, hal ini menyisakan beberapa pertanyaan.

“Mengapa IFRS?”

            Selama mendalami ilmu akuntansi selama satu setengah tahun di Universitas Katolik Widya Mandala, penulis menemukan beberapa hal yang menjadikan IFRS standar akuntansi yang paling baik untuk diadopsi Indonesia, antara lain:

1.    Adanya Globalisasi Bisnis
Globalisasi berdampak pada terjadinya internasionalisasi pasar modal. Hal ini disebabkan oleh adanya perdagangan bebas, munculnya berbagai MNC, serta didukung dengan adanya teknologi informasi yang canggih. MNC mulai mencatatkan sahamnya di bursa efek negara asing tempat cabang perusahaan tersebut didirikan. Perusahaan yang listing di bursa efek asing harus menyusun laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi negara tersebut sehingga mengharuskan perusahaan untuk menyusun laporan keuangan ganda. Satu set laporan keuangan sesuai dengan standar pelaporan keuangan domestik dan satu set laporan keuangan konsolidasi yang sesuai dengan standar pelaporan keuangan yang lain yang sesuai dengan standar akuntansi dimana saham tersebut didaftarkan sehingga menimbulkan biaya yang besar bagi MNC. Dengan mempergunakan sebuah standar yang bersifat internasional, perusahaan-perusahaan yang ada di negara tersebut akan lebih mudah untuk melakukan pelaporan dan sudah tentunya akan membuat perusahaan-perusahaan laiinya untuk lebih tertarik untuk melakukan penanaman modal di negara tersebut. Konvergensi IFRS ini merupakan salah satu upaya Indonesia untuk membuka peluang pasar modal internasional.  Penerapan IFRS dalam SAK Indonesia akan memberikan kemudaham pemahaman atas laporan keuangan karena standar akuntansi yang diberlakukan bersifat internasional.

2.    Keanggotaan Indonesia di G20
Indonesia merupakan salah satu negara anggota dari G20. Pada tanggal 24-25 September 2009, bertempat di Piittsburg, para anggota G20 melakukan suatu pertemuan yang menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa bahwa otoritas yang mengawasi aturan akuntansi internasional harus meningkatkan standar global pada Juni 2011 sehingga dapat mengurangi kesenjangan aturan di antara negara-negara anggota G-20. Untuk itu, negara-negara yang menjadi anggota G20 sepakat untuk melakukan konvergensi ke IFRS.

3.    Dorongan dari Lembaga Keuangan Indonesia
Lembaga-lembaga keuangan dunia seperti World Bank dan IMF (International Monetary Fund) dianggap sebagai pihak yang paling berpengaruh di dalam adopsi IFRS di negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang ada di wilayah Asia Tenggara (id.wikipedia.com). Badan-badan tersebut yang menekan pemerintah negara berkembang untuk mengadopsi IFRS agar memudahkan mereka untuk menginterpretasikan laporan keuangan negara tersebut. Indonesia yang terikat di dalam utang dan perjanjian dengan lembaga tersebut tidak memiliki pilihan lain untuk tidak mengadopsi IFRS. Karena alasan ini, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan adopsi atas IFRS.

“Apa saja yang dirubah dari PSAK ketika kita mengadopsi IFRS?”

Setelah dicanangkannya konvergensi IFRS, Indonesia saat ini memiliki 3 SAK yaitu, SAK, SAK ETAP, dan SAK Syariah. Dampak terdapatnya 3 SAK bagi peraturan perpajakan adalah, dalam peraturan perpajakan, dinyatakan bahwa pembukuan (untuk tujuan pajak) menggunakan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali Peraturan Perpajakan menyatakan lain. Hal ini berarti, untuk tujuan pajak, digunakan perlakuan akuntansi sesuai dengan peraturan pajak, kecuali jika tidak diatur dalam peraturan perpajakan, maka pengaturan akuntansinya menggunakan SAK (KUP 28/2007).

1.    Aset Tak Berwujud
Contoh item yang tidak diatur dalam peraturan pajak dan oleh karena itu menggunakan SAK sebagai dasar adalah aset tak berwujud. Dalam peraturan perpajakan, aset tak berwujud mengacu ke SAK (dalam hal batasan dan pengakuan) sesuai dengan Pasal 28 UU KUP. Padahal, pengaturan aset tak berwujud untuk SAK ETAP dan SAK Umum berbeda. Untuk SAK Umum, aset tak berwujud dapat dihasilkan secara internal (dari proses pengembangan / development) maupun eksternal (membeli lisensi, hak cipta, dll). Untuk SAK ETAP, aset tak berwujud hanya yang dihasilkan secara eksternal saja. Perlakuan untuk amortisasi aset tak berwujud berdasar UU KUP adalah 20 tahun atau mengikuti klasifikasi UU No.11 mengenai aset, sedangkan berdasar SAK Umum dapat berumur terbatas atau takterbatas, dan berdasarkan SAK ETAP umurnya terbatas.

2.    Mata Uang Pembukuan dan Mata Uang Pelaporan
Terdapat perbedaan pengaturan dalam hal penggunaan mata uang pelaporan. Berdasarkan peraturan pajak dan SAK ETAP, mata uang pelaporan dan pembukuan dalam rupiah. Sedangkan dalam SAK Umum menggunakan mata uang fungsional sebagai mata uang pembukuan dan mata uang pelaporan rupiah.

3.    Fair Value Accounting
Seringkali yang ditakutkan dari dampak konvergensi IFRS terhadap peraturan perpajakan adalah mengenai diterapkannya Fair Value Accounting (FVA). Dimana transaksi peralihan aset dan liabilitas dicatat menggunakan nilai wajarnya (Fair Value), atau nilai pasar, atau nilai yang disepakati oleh pihak-pihak yang memiliki pengetahuan akan barang yang dialihkan.

4.    Revaluasi
Berdasarkan SAK Umum, revaluasi merupakan pilihan dan tidak perlu seizin regulator. Berdasarkan peraturan perpajakan, PMK No.79/PMK.03/2008, revaluasi tidak dapat dilakukan setiap saat. Sedangkan berdasarkan SAK ETAP revaluasi harus seizin regulator.

5.    Goodwill
Berdasarkan peraturan perpajakan, goodwill diamortisasi. Berdasarkan SAK Umum, goodwill tidak diamortisasi namun diuji penurunan nilainya. Untuk kombinasi bisnis, SAK Umum sudah tidak mengizinkan pooling of interest method – sesuai perlakuan dalam IFRS (kecuali untuk perlakuan transaksi entitas sepengendali).

“Jadi, apakah perubahan ini memberi lebih banyak manfaat daripada mudarat?”

         Jelas, seperti yang penulis nyatakan diatas, pengadopsian IFRS membantu Indonesia mengejar kemajuan melalui standarisasi pelaporan internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi di Indonesia, utamanya terhadap aktivitas investasi dan perpajakan. Namun, tiada gading yang tak retak. Setiap keputusan membawa resiko. Untuk menerapkan IFRS dengan baik, diperlukan tenaga akuntansi yang lebih terampil, baik itu staff bagian akuntansi perusahaan, auditor internal, maupun akuntan publik yang handal. Jumlah tenaga akuntansi di Indonesia belum dapat dikatakan baik apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. IAI mencatat, jumlah akuntan profesional yang teregistrasi sebagai anggota IAI hanya sebanyak 15.940 orang. Jumlah ini jauh di bawah akuntan profesional yang ada di negara tetangga. Malaysia memiliki 30.236 akuntan profesional, Filipina punya 19.573 akuntan, Singapura 27.394 akuntan, dan Thailand memiliki 56.125 akuntan. Namun, untuk mengembangkan ekonomi nasional, penerapan standar yang berlaku secara internasional merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang mendalami bidang akuntansi, kita harus terus mengasah keterampilan. Tidak hanya demi menyesuaikan diri dengan IFRS, namun juga untuk perkembangan-perkembangan mendatang.


Referensi:

Elizabeth, Cheline, dkk. 2014. Kesiapan Akuntan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan. Salemba Empat:Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar