Lidya Ratnasari Tejosaputra
NRP 3203013094
NRP 3203013094
Mutu pendidikan di Indonesia sungguh mengkhawatirkan. Di
Asia Tenggara, Indonesia termasuk negara terendah mutu pendidikannya dari 7
negara lainnya, bahkan mutu pendidikan Indonesia di bawah Malaysia dan Vietnam,
padahal dahulu Malaysia belajar dari Indonesia untuk meningkatkan kualitas
pendidikannya. Untuk tingkat pendidikan
di dunia, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 127 negara. Hal ini bisa
terjadi karena kualitas guru, metode pembelajaran, dan sistem pendidikan di Indonesia
sendiri yang masih lemah. Untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia, dapat
dilakukan dengan cara pelatihan terbaik untuk menghasilkan kualitas guru yang
terbaik juga, menerapkan metode pembelajaran berbeda yang bisa membuat suasana
belajar menjadi menyenangkan, dan memperbaharui sistem pendidikan di Indonesia.
Dalam
dunia pendidikan di tingkat perguruan tinggi, banyak calon mahasiswa yang
memilih jurusan sesuai dengan banyaknya peminat di jurusan tersebut dan yang
mudah untuk memperoleh pekerjaan. Jurusan yang saat ini paling banyak diminati
karena prospek kerja ke depannya cerah adalah jurusan akuntansi. Hal ini
dikarenakan hampir semua bidang membutuhkan tenaga keuangan yang mampu menyusun
laporan keuangan dan mengatur keuangan perusahaan.
Banyaknya
calon mahasiswa yang berminat di jurusan akuntansi membuat banyak perguruan
tinggi menambah kuota pendaftaran dan menerima mahasiswa baru jurusan akuntansi
sebanyak-banyaknya tanpa melihat kualitas dan kemampuan perguruan itu sendiri.
Akibatnya, perguruan tinggi di Indonesia
ibarat “pabrik sarjana” seperti apa yang telah diungkapkan oleh pakar
pendidikan dan guru besar dari Universitas Katolik Widya Mandala, Anita Lie,
bahwa “Bagaimana tidak jadi pabrik, populasi kita saja sekian banyak.”
Menurut Anita, masih banyak kampus yang tidak layak
beroperasi di Indonesia. Meskipun demikian, Anita optimis bahwa masyarakat akan
belajar tentang pentingnya kualitas pendidikan tinggi, bukan sekedar titel
sebagai embel-embel nama. Masyarakat akan semakin pintar menilai mana kampus
yang pintar dan mana kampus yang tidak. Pada akhirnya, penilaian itu akan
menentukan pilihan mereka. Anita menegaskan bahwa pemerintah dan stakeholder
pendidikan tidak bisa melepaskan unsur kualitas dari pendidikan tinggi.
Pemerintah pun perlu segera memperbaiki kualitas Institusi kampus, bukan hanya
dari segi administratif.
Banyaknya mahasiswa yang berminat di jurusan akuntansi,
membuat persaingan di dunia kerja juga semakin tinggi. Akibatnya, banyak
lulusan sarjana ekonomi khususnya jurusan akuntansi yang susah mencari
pekerjaan, ataupun bekerja tetapi bukan dalam bidang akuntansi, bahkan banyak
yang menganggur. Ditambah dengan adanya Asean Economic Community (AEC) atau
Asean Free Trade Area (AFTA) tahun 2015 mendatang, membuat persaingan yang
sudah tinggi menjadi semakin tinggi dan ketat dikarenakan banyaknya tenaga
kerja asing terutama akuntan asing yang masuk ke Indonesia. Berkompetisi dengan
akuntan asing membuat akuntan Indonesia kehilangan pangsa pasar karena
perusahaan-perusahaan di Indonesia memilih untuk merekrut akuntan asing.
Semakin dekatnya tahun 2015 dimana AFTA akan segera diberlakukan,
membuat Ikatan Akutan Indonesia (IAI) khawatir akan masa depan akuntan dalam
negeri. IAI menilai tantangan yang dihadapi akuntan dalam negeri saat AFTA
tersebut tergolong sangat berat. Hal ini dikarenakan kualitas dan kesiapan
kompetitor dari negara-negara di belahan ASEAN sudah cukup memadai, sedangkan
di Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki dan dipersiapkan oleh sektor
profesi akuntan seperti register akuntan yang diperoleh dari Kementerian
Keuangan (Kemenkeu), sisi keilmuan, dan skill. Menurut direktur IAI, Elly Zarni
Husin, IAI berkomitmen untuk mengambil peran strategis dalam kancah keprofesian
untuk mendorong kesiapan akuntan-akuntan Indonesia untuk bersaing dalam AFTA
2015. Beliau optimis akuntan Indonesia bisa eksis bila kompetisi, integritas,
serta profesionalisme mereka semakin ditingkatkan.
Untuk mempersiapkan AFTA di tahun 2015 mendatang,
Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan peraturan baru yang tertuang dalam
Permendikbud 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Dalam
aturan ini ditentukan bahwa beban belajar minimal mahasiswa S1 adalah 144 SKS
(Satuan Kredit Semester). Untuk menuntaskan seluruh beban SKS tersebut,
mahasiswa S1 diberi batas waktu 4-5 tahun (8-10 semester), sehingga sebutan
mahasiswa abadi atau mahasiswa paling lama (mapala) yang kuliah hingga 7 tahun
(14 semester) sudah tidak ada lagi.
Dengan diterapkannya peraturan Dirjen Dikti Kemendikbud
tersebut, diharapkan kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia semakin
meningkat sehingga para lulusan siap menghadapi AFTA dan tidak kalah bersaing
dengan tenaga kerja asing. Begitu pula dengan para lulusan sarjana ekonomi
jurusan akuntansi, diharapkan bisa berkompetisi dengan akuntan asing dan bisa
merebut kembali pangsa pasar yang hendak dimasuki oleh akuntan asing.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar