Selasa, 25 November 2014

Quo Vadis Akuntan Indonesia?

Tulisan berikut merupakan karya:
Lidya Ratnasari Tejosaputra
NRP 3203013094


Mutu pendidikan di Indonesia sungguh mengkhawatirkan. Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk negara terendah mutu pendidikannya dari 7 negara lainnya, bahkan mutu pendidikan Indonesia di bawah Malaysia dan Vietnam, padahal dahulu Malaysia belajar dari Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.  Untuk tingkat pendidikan di dunia, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 127 negara. Hal ini bisa terjadi karena kualitas guru, metode pembelajaran, dan sistem pendidikan di Indonesia sendiri yang masih lemah. Untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia, dapat dilakukan dengan cara pelatihan terbaik untuk menghasilkan kualitas guru yang terbaik juga, menerapkan metode pembelajaran berbeda yang bisa membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, dan memperbaharui sistem pendidikan di Indonesia.
            Dalam dunia pendidikan di tingkat perguruan tinggi, banyak calon mahasiswa yang memilih jurusan sesuai dengan banyaknya peminat di jurusan tersebut dan yang mudah untuk memperoleh pekerjaan. Jurusan yang saat ini paling banyak diminati karena prospek kerja ke depannya cerah adalah jurusan akuntansi. Hal ini dikarenakan hampir semua bidang membutuhkan tenaga keuangan yang mampu menyusun laporan keuangan dan mengatur keuangan perusahaan.
            Banyaknya calon mahasiswa yang berminat di jurusan akuntansi membuat banyak perguruan tinggi menambah kuota pendaftaran dan menerima mahasiswa baru jurusan akuntansi sebanyak-banyaknya tanpa melihat kualitas dan kemampuan perguruan itu sendiri. Akibatnya,  perguruan tinggi di Indonesia ibarat “pabrik sarjana” seperti apa yang telah diungkapkan oleh pakar pendidikan dan guru besar dari Universitas Katolik Widya Mandala, Anita Lie, bahwa “Bagaimana tidak jadi pabrik, populasi kita saja sekian banyak.”
Menurut Anita, masih banyak kampus yang tidak layak beroperasi di Indonesia. Meskipun demikian, Anita optimis bahwa masyarakat akan belajar tentang pentingnya kualitas pendidikan tinggi, bukan sekedar titel sebagai embel-embel nama. Masyarakat akan semakin pintar menilai mana kampus yang pintar dan mana kampus yang tidak. Pada akhirnya, penilaian itu akan menentukan pilihan mereka. Anita menegaskan bahwa pemerintah dan stakeholder pendidikan tidak bisa melepaskan unsur kualitas dari pendidikan tinggi. Pemerintah pun perlu segera memperbaiki kualitas Institusi kampus, bukan hanya dari segi administratif.
Banyaknya mahasiswa yang berminat di jurusan akuntansi, membuat persaingan di dunia kerja juga semakin tinggi. Akibatnya, banyak lulusan sarjana ekonomi khususnya jurusan akuntansi yang susah mencari pekerjaan, ataupun bekerja tetapi bukan dalam bidang akuntansi, bahkan banyak yang menganggur. Ditambah dengan adanya Asean Economic Community (AEC) atau Asean Free Trade Area (AFTA) tahun 2015 mendatang, membuat persaingan yang sudah tinggi menjadi semakin tinggi dan ketat dikarenakan banyaknya tenaga kerja asing terutama akuntan asing yang masuk ke Indonesia. Berkompetisi dengan akuntan asing membuat akuntan Indonesia kehilangan pangsa pasar karena perusahaan-perusahaan di Indonesia memilih untuk merekrut akuntan asing.
Semakin dekatnya tahun 2015 dimana AFTA akan segera diberlakukan, membuat Ikatan Akutan Indonesia (IAI) khawatir akan masa depan akuntan dalam negeri. IAI menilai tantangan yang dihadapi akuntan dalam negeri saat AFTA tersebut tergolong sangat berat. Hal ini dikarenakan kualitas dan kesiapan kompetitor dari negara-negara di belahan ASEAN sudah cukup memadai, sedangkan di Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki dan dipersiapkan oleh sektor profesi akuntan seperti register akuntan yang diperoleh dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sisi keilmuan, dan skill. Menurut direktur IAI, Elly Zarni Husin, IAI berkomitmen untuk mengambil peran strategis dalam kancah keprofesian untuk mendorong kesiapan akuntan-akuntan Indonesia untuk bersaing dalam AFTA 2015. Beliau optimis akuntan Indonesia bisa eksis bila kompetisi, integritas, serta profesionalisme mereka semakin ditingkatkan.
Untuk mempersiapkan AFTA di tahun 2015 mendatang, Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan peraturan baru yang tertuang dalam Permendikbud 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Dalam aturan ini ditentukan bahwa beban belajar minimal mahasiswa S1 adalah 144 SKS (Satuan Kredit Semester). Untuk menuntaskan seluruh beban SKS tersebut, mahasiswa S1 diberi batas waktu 4-5 tahun (8-10 semester), sehingga sebutan mahasiswa abadi atau mahasiswa paling lama (mapala) yang kuliah hingga 7 tahun (14 semester) sudah tidak ada lagi.
Dengan diterapkannya peraturan Dirjen Dikti Kemendikbud tersebut, diharapkan kualitas lulusan perguruan tinggi di Indonesia semakin meningkat sehingga para lulusan siap menghadapi AFTA dan tidak kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Begitu pula dengan para lulusan sarjana ekonomi jurusan akuntansi, diharapkan bisa berkompetisi dengan akuntan asing dan bisa merebut kembali pangsa pasar yang hendak dimasuki oleh akuntan asing.
Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar